21 November 2008

Kejora Malamku.


……. Dan kau tanyakan mengapa bulan tak bercahaya
Dalam bayangmu yang pekat berjelaga….

kenapa harus bertanya
bukankah kau kejora malamku ?
yang melesat diantara nebula rasa
yang berputar di porosnya
tak henti
tak lelah

hentikan paraumu
dan masuklah ke relung relung dadaku
biaskanlah ragumu dikaca cinta
niscaya kau lihat gemerlapnya
cahaya bintangmu menyala
bertahta
walau tak terbaca yang lainnya
sekiranyya aku tlah bangga
milikimu apa adanya...

Mungkin..?

mungkin
jangan pernah kau berikan setangkai mawar itu
karna ku tak sanggup melihatnya layu

mungkin
jangan kau selipkan cinta disela hatiku
Itu bisa membunuhku kala kau pergi

mungkin dan mungkin
lebih baik kita tak tolehkan mata
hingga belati cinta tak torehkan luka

Hanya Sebuah Sekrup..?


Mungkin aku hanya sebuah sekrup bagimu…
Menyokongmu dari rapuhnya jiwa
Terselambu disela jasadmu yang kokoh
Tak terlihat..
Tak lebih…

Mungkin aku hanyalah sekrup kecil
Merakit hatimu yang terbelah belah
Hingga kau temukan rangka hasratmu
Yang lantah terejam murka
Dari api cemburu yang mejilat sukmamu
Kala itu..

Mungkin aku hanyalah sekrup
Menguatimu dengan mulut terkatup
Di intervena hingga sisa hidup

Maniz, 20 November 2008

14 November 2008

Membekam Misteri


biarlah dia menelan misterinya
diantara deru debu yang terhempas angin
atau benamkan kerlipan bola mata
pada garis malam yang mulai surau
hingga bumi membelai lembut mimpi
yang tersulam dari asa-asa kemarin
biarlah dan biarlah
segurat senyum dari rekahan bibirnya
terkatup menyimpan prahara
yang enggan untuk bercerita

Rindu


Kurindu bau rumput yang terbalut embun
Dimana surya menyelinap dipucuk dahan
Kurindu suara bambu
Yang melagu didawaikan angin

Kurindu desiran ombak
Tempat aku benamkan segala onak

Kurindu gubukku
Dimana Ayah dan Ibu menyalamiku
Membekali dengan sekantong cinta
Mengaminiku dengan setangkup asa

Rindu dan rindu aku
Untuk melenggang pulang
Bersimpuh dikampung halaman...

Serat Rindu yang Terlupa


Saat bola matamu menyatu dengan gejolak
Katupan bibirmu berkerut
Nyali mengempis menciut
Lalu dalam diam kita beradu
Gemuruh...
Lalu hening terbawa angin...

Kenapa..
Tak kau tali saja hasrat kita
Hingga pertemuan memanggil rasa
Bila esok sejimpit mimpi
Genapkan mozaik cinta kita yang berserak
Biarlah begitu adanya

Karna..
Serat rindu yang terselip didada
Terlupa kau baca...
Hingga bunga mimpi yang merekah
Kau anggap fatamorgana

Mengapa....

Haruskah kembali..?


haruskah kembali..???
luka sama masih menganga
derita tak tersapu tangis belia
bila harus ku redam nestapa
ku ingin sendiri menjajakan kaki
tanpa sedu sedan itu..!
tanpa segumpal janji usang
yang kerap kau sematkan
pada serat hatiku yang menghitam

cukup... !!

roda berputar
lalu kenapa kita harus terdiam..??

biarlah ku pergi.....
karna sekeranjang mimpi
menggulung hatiku kini...

Kerinduan


Mengintip senja mencium rembulan

November....


Bila November menimbun hujan
Tentu tak ia letakkan di kelopak matamu
Tak jua menenggelamkanmu dalam prahara
Hanya menyeka mimpi yang tertunda
Kala kemarau menerpa jamban hatimu..
Kemarin…..

Jika November memetik setangkup senyum
Itu dari rekahan bibirmu nan ranum
Lalu memajangnya dalam vas kaca
Menyibak rasamu yang berselambu malu
Saat ini..

Dan bila November adalah dirimu
Ijinkanlah kupinta candamu yang menyurut
Agar mampu kubelah dahaga
Dengan secawan madu kasihmu
Sebelum batas senja memenggal kisah kita
Dengan cinta bersalin rupa
Esok….

Maniz, 10 November 2008

Meniti Jejak Kupu-Kupu

Meniti jejak kupu-kupu
Yang hinggap diujung bunga berputik sari
Dimana geliat tubuh elok terpapar cahaya
Warna semburat megah merogoh pesona

Mengintip jejak kupu-kupu
Terlahir dari ulat tak bersayap
Dengan raga jauh terpuja
Namun memiliki sejuta mimpi
Kelak hidup lebih terhormati

Dan kini biarlah kupu-kupu terbang
Membelah nirwana yang membentang
Mendulang keemasan yang tertawan
Mengatup misteri yang terlupakan
Karna awal biasanya tertinggal
Dan akhir adalah simpulan mati

Maniz, 15 Oktober 2008

07 Oktober 2008

Kemuning


Ranting mongering
Dahan mengemuning
Dan kita terperangkap luka
Dari tunas yang layu tercabik rasa

Aku memeras hati yang berkerut
Dan kau patahkan cinta yang terajut
Siapakah yang lebih melukai
Jika belati sama tajam menguliti

Entah kamu atau aku yang memulai
Namun akhir pun memuai
Garis perpisahan merayu di ufuk senja
Tangis teriris menutup cerita kita

Maniz, 7 Oktober 2008

09 September 2008

Entah


Entah apa yang terpikir olehku
Gaduh di dada bertalu talu
Denyut bergejolak teradu galau
Hasratku meredup diambang surau

Entah apa yang terpikir olehku
Akal melayang terpacu jemu
Atas rutinitas bekukan nafsu
Pada gerak jiwa yang terpaku bisu

Entah apa yang terlintas
Ku hanya ingin diam menekuri keheningan
Membangun dinding dinding batas
Kala kasunyatan mencium kewajiban

Maniz, 9 September 2008

Penantian


Ku ingin bercerita
Pada lampu taman redup menyusut
Pada gedung-gedung yang tak perawan
Pada setangkai dahan yang mengandung lara
Pada bangku kursi yang membungkam bisu
Selama apakah aku menunggumu..?
Bahkan hitamnya rambut tlah terhisap senja
Kulit semakin purba
Dan kelopak mata bosan membingkai penantian
Atas sosokmu yang timbul tenggelam
Terambing ombak tak berhaluan

Maniz, 8 September 2008

Episode


Satu kecup membius waktu
Hingga jam pun enggan berdentang
Saat kita bergumul asmara
Menggelepar menjajah raga yang terbakar

Rayap haus melumat rongga kayu
Desahan samarkan geraham yang berderit
Bagai tornado kau hempaskan segala
Luluh lantah jatuhkan jamban air ke tanah

Kambojapun menguning layu
Memuja tanah hingga tertekuk pasrah
Dalam sprei kusut bermotif bunga lili
Satu episode kini tlah terakhiri

Maniz, 8 September 2008

Di halaman pertama


Secercah senyummu membuka pita
Menandakan pronolog senja dibuka
Dan kerlipan mata bukakan buku
Siap tawan rasamu menyatu
Namun sayang sungguh sayang..
Cerita berakhir..
Dihalaman pertama
Sebelum sang pena mengukir kata

Maniz, 8 September 2008

Angin


Seperti angin yang berhembus
Datang tak terendus bumi
Dan sebelum setangkup tangan menyalami
Tanpa jejak pergimu membius
Jiwaku yang kuncup mengatup

Maniz, 8 September 2008

Menunggu Waktu


Tinggal menunggu waktu
Sang kala menjembut dengan sebilah pedang
Memisahkan hangatnya tubuh dipelukan
Kuraskan muara tangismu yang kian mengering

Tinggal menunggu waktu
Hembusan nafas ini tertali
Diujung-ujung jalan yang mendaki
Menuju langit tempat bertapanya para dewa
Yang bersila menunggu selipkan surat nirwana

Tinggal menunggu waktu
Kala usaha menepi di lorong takdir hidup
Dan asa mengemuning berjatuhan
Karena catatan telah ditorehkan

Tinggal menunggu waktu
Tetesan doamu menyalami
Kepergian menuju kehidupan abadi
Dengan segengam amal yang tersampul rapi

Maniz, 6 September

Janji Sekantong Sampah Plastik


Awan menjadi saksi nyata
Atas janji sekantong sampah
Dengan berbisik merayu tanah
Tuk kebumikan cela, nista, tipu, daya
Buahkan subur nikmat di rongga-rongga

Tanah tersenyum mengelus kuasa
Sampah tertawa puaskan rasa
Dan sembunyilah segala kebusukan
Dalam perut-perut penuh ketulusan

Apa yang terjadi
Kala tanah uraiakan semua
Mengalirlah perih dan payah mewabah
Dalam jasad yang kian meranggas
Terejam racun sampah yang mengganas

Sampah tertawa geli
Dan tanah hanya bisa berderai
Derai
Hingga awan tancapkan akar gerimis
Di tanah yang gersang menangis


Maniz, 6 September

Siapalah Aku


Siapalah aku..
Saat cermin suguhkan wujud rupa
Saat jiwa mencoba diraba
Apa yang ku baca..??
Sorot mata yang mengejawantah
Terhias dengan sekuntum senyum indah
Lalu semua mulai bermutasi
Menjadi bait-bait pengakuan diri
Entah dosa entah pahala
Putih dan hitam nanar dirasa

Siapalah aku..
Sembunyikan rasa di pelupuk mata
Memeluk harap dikepingan doa
Membekam luka di kerlipan tawa
Bumikan dosa di rona muka

Siapalah aku….
Mungkin aku adalah aku
Dengan putih dan hitamnya rasa
Terbalut dengan sewujud raga
Tergerak dengan segengam karsa

Maniz, 5 September 2008

Kompromi Jiwa


Duduk tertekuk di beranda hati
Sepi sendiri menjamu jiwa
Dan dialog diri menyapa rasa
Intrik berderai mencoba terurai

Dua ujung menali ego
Dua karsa memaksa bicara
Logika dan rasa memutar fakta
Kanan dan kiri manarik pesona

Kenapa ada pertentangan
Dan jalan menelurkan persimpangan
Jika akhir tujuan adalah sama
Kanan atau kiri hanyalah sarana

Kenapa harus tetaskan konflik
Bertopeng dengan wajah munafik
Tak bisakah jiwaku berkompromi
Menerima diri sejatining insani

Hem…. Bisakah wahai jiwaku…????

Maniz, 5 September 2008

03 September 2008

Trauma Ramadhan


Denting membunting cerita syahdu
Pada episode yang tertoreh silam
Saat ku memeluk purnama yang bisu
Tersudut di lorong trauma mendalam

Dua tahun terusung scenario
Pada lokan nestapaku
Kala 2 ramadhan isakku membuncah
Membanjiri cawan laraku tertumpah

Apa ini catatanku…?
Bersua Ramadhan dalam sampul kelabu
Dan kemasi guratan senyum terkulum
Membekamnya dengan tetes air mata
Hingga tersuguh nanarnya rasa
Dalam kepingan pinta yang tertunda

Kini
Dengan seikat doa yang tersisa
Ijinkan aku rengkuh bahagia
Kala sahur membangunkan asa

Maniz, 3 September 2008

Langkah


Tahun demi tahun tatihku meletih
Dan beban karatkan langkah
Terseok di gersangnya jalan hidup
Tercabik onak-onak kehidupan

Lunglai kaki dipuja tanah
Lelah diri bersanding keringat
Namun celoteh kecilmu sayang
Bangunkan istana asa … gubahkan derita

Dengan senyumanmu sayang
Gurun madagarsar subur terairi
Dewa-dewi cinta berkidung merdu
Hingga lelapkan letih dan nestapaku

Dengan tatapan polosmu sayang
Yang sebening air mata suci
Ijinkan kuseduh segelas nikmat..
Walau siksa dunia begitu dekat

Maniz, 2`September 2008

Merugi..?


Kala usia membelah jatah waktu
Sedang pahala tercecer dijalan
Dan dosa tertabung di pundinya
Apakah aku merugi..??
Jika saat pagi kubuka mata
Harta tertata berkilapan
Tahta tersemat wibawakan diri
Cinta dan durja merapat bersama
Apakah aku merugi..?
Bila tiba saatnya
Kukan tertawa memeluk dunia
Dan fana masihlah cerita
Apakah aku merugi..?
Astaghfirullah……


Maniz, 2 September 2008

Adalah...


Adalah mimpi yang ku tabur di persemaian doa
Adalah pinta yang tertutur dari bibir terbasuh
Adalah ingin yang bermunajad dengan itikad
Adalah karsa yang membangun jiwa
Adalah rasa yang direnda dengan usaha
Adalah aku yang menunggu satu kata cinta darimu…

Maniz, 2 September 2008

Cahaya Temaram


Secercah cahaya datang melamat
Mengendap ke bilik-bilik hati
Lalu pergi merambat
Sisakan gelap yang melumat

Cahaya temaram
Berkawan dengan kelam yang melegam..

Maniz, 2 September 2008

28 Agustus 2008

Hanya Dengan Mata


Hanya dengan mata ku urai rasa
Yang berderai dari bulu mata yang jatuh di kelopaknya
Yang kemudian terhanyut oleh tetesan tangis
Luruhkan luka yang tersayat..teriris

Hanya dengan mata ku coba bicara
Pada egomu yang membakar cinta
Pada angkuhmu yang berpijak sendiri
Pada rapuhku yang terus meratapi

Hanya dengan mata ku bercerita
Akan hari esok bilakah ada
Peluk kasih kita menghangat kembali
Kala egomu dan egoku terkebiri
Oleh satu mantra ikrar suci

Hanya dengan mata..
Bisakah kau pahami..???


Maniz, 28 Agustus 2008

20 Agustus 2008

Kehidupan ini milikku tapi bukan milikku


Tatapan lembut menyambut kalbu
Senyum merekah ramah mempersilah
Petuah menjamah menggugah raga
Pencerah datang meski tak digadang

Lalu menari dengan makna kau urai dunia
Dengan dendang kata menjamah rasa
Dengan lafaldz suci menuju muara
Diujung zaman terpusara Surga

Hidup dan mati terjatah rotasi
Suka dan duka di seka masa
Syukur dan keluh tergantung diri
Karna hidup milikku tapi bukan milikku


Maniz, 19 Agustus 2008


Terinspirasi oleh sejarah Rumi..

Rotasi Persahabatan


Malam itu… Dira terdiam mematung didepan meja kreasinya… bola mata gadis manis itu meredup, wajahnya terlihat lebih tirus ketimbang sebelumnya. Beberapa lembar puisi, batangan coklat dan kacang kulit berserak dimeja..sebotol aquapun dibiarkan menetes, airnya menyusup ke celah celah meja yang berserat kasar itu. Berjam jam Dira menunggu sahabat terbaiknya Vira yang belakangan ini sudah jarang menghubunginya. Dulu sering sekali Vira dan Dira mengunjungi dapur kreasi mereka ditaman di belakang rumah Dira, mereka membuat puisi bersama kemudian mereka tulis pada lembaran-lembaran kertas yang kemudian ditempelkan didinding. Sudahlah cukup bagi mereka karya terpajang didinding itu, tak perlu publikasi, tak perlu kritik saran karena bagi mereka karya adalah karya, hasil curahan rasa dan imagi. Dipuisi itulah mereka curahkan segalanya, lara atau suka, cinta atau dusta.


Telpon berdering keras, dari jauh suara Vira terdengar lirih, dia membatalkan janji akan membuat puisi bersama di rumah Dira. Dira tersenyum saat menutup telpon dari teman terbaik yang ia anggap kembarannya itu.


“ Ini ke 12 kali kau batalin janji Vir…yah aku tau kok .. kamu bukan seperti yang dulu, sekarang kamu punya segudang teman dan kegiatan baru “ batin Dira dalam hati. Dira sudah berusaha keras untuk mengerti kondisi yang tlah berubah itu, namun tetap saja hatinya terasa sakit karena merasa kehilangan seorang teman.


Semenjak Vira bergaul dengan Siska, Vira memang menjauh dari Dira. Vira bagai membenamkan dirinya sendiri bertedeng kesibukannya. Siska yang sejak dulu membenci Dira selalu gencar memprovokatori Vira supaya persahabatan dan persaudarannya dengan Dira ternoda bahkan hancur.


Beberapa hari kemudian Dira kembali menghubungi Vira sekedar menanyakan kabar namun telpon tak pernah diangkat, hingga sampai diterimanya sebuah puisi dari Vira….


Layang layang telah putus
Kini terbang membelah langit
Empat penjuru arah merayu hadirku
Saatnya diri pergi memilih
Selamat tinggal……
Salam Vira.-


Tercengan Dira membaca bait terakhir puisi Vira…. Tak terasa air matanya meleleh.. luruh bersama keping keping hatinya yang berguguran… hembusan angin pun membisikkan hymne perpisahan…


Hanya seperti inikah persahabatan kita Vir….
Kau pergi bersama angin yang hanya semilir sesaat…
Pergilah ke tujuh samudra dan temukan mozaik asamu disana
Dan jika angin kan bawamu kembali.. aku tetap menunggumu disini
Karena bumi berotasi…..

Maniz, 10 Agustus 2008

Ujung Perjalanan?


Hujan rintik rindu memeluk bumi
Lalu mengikatkan akar-akarnya disela tanah
Luruh menuju muara pantai
Dengan kerdipan surya terbias keangkasa
Lalu kembali kerperaduan..
Dimanakah ujung keletihan perjalananmu?

Maniz, 17 Agustus 2008

Terperangkap Tanya..


Aku terasing dalam tubuhku sendiri dan pabila kudengar lidahku bicara, aku melihat diriku sendiri tersenyum, menangis, berani, pengecut, bahkan eksistensiku merasa asing pada wujudku ketika jiwaku menggugat hatiku, tapi aku tetap tak mengerti, diselimuti kesunyian yang maha dasyat, hatiku mencari kerumunan ilmu tuk pencerahanku..

Pikiranku merasa asing pada tubuhkudan ketika aku berdiri dihadapan cermin, aku melihat sesuatu yang tak dapat dilihat jiwaku dan aku menemukan sesuatu yang tidak pernah ditemukan jiwaku…

Tanda Tanya besar selalu memantul dalam bilik-bilik jiwa.. siapa aku…??? Aku hanyalah jasad yang terhuni jiwa..suatu tunas menuju kemuning….aku hanya wadah jiwa melantunkan tembang perjuangannya dalam titian perjalanan takdir.. mungkin hanya itu.. atau lebih..???
Sewujud jasad dan jiwa bersatu menggali asal dan menerka akhir..
Cermin diam dan jiwaku tersudut pada bayangan..


Bisu...


Tiada kata terucap mufakat
Tiada kata terlahir disudut bibir
Tiada kata tercipta dari dua dada
Kita…. Menelan kata sendiri
Terkebiri oleh kebisuan
Tercekat oleh ego diri
Bisu…

11 Agustus 2008

Tungku Hati


Sejak surat-surat yang kukirim tak sampai
Sejak jeritan hati tak terjembatani
Kau melangkah melepas jubah kenangan
Meninggalkan jejak dipasir yang tersapu angin

Kemana harus kucari cintamu
Rasa yang kerap memeluk dinginnya hatiku
Kemana jejak kaki harus tertancap
Pencarianku ke empat penjuru taklah cukup
Entah dimana kau benamkan wujud
Semua pintu telah kau tutup

Kini..
Engkau memang telah pergi
Tinggalkan kisah tutup cerita
Padamkan bara asmara nan membara
Namun abu cinta yang pernah bersemi
Masih menghangat di tungku hati

Maniz, 11 Agustus 2008

Lengkung Sayapmu...


Beriku lengkung sayapmu
Agar ku mampu mengayuh sampai langit ke tujuh
Yang bertebar bintangmu berkerlip
Bersinar tanpa jemu mengerdip

Beriku lengkung sayapmu
Kan kudatangi nebula rasamu yang menggulung
Membungkus ronamu dalam cadar cadar hati
Yang sesekali terseruak indah
Pancarkan diri dari gelap yang melumat

Berikanku lengkung sayapmu
Lalu kita kan terbang bersama
Diistana rasa tempat pundi-pundi asmara meluap
Juntaikan madu Cleopatra nan legit
Persilahkan kita mabuk terbuai cinta
Bergumbul diantara dewa dewa bersila

Berikan ku lengkung sayapmu
Agar masa bisa kita makna
Agar cerita bisa kita renda…

Maniz, 11 Agustus 2008

06 Agustus 2008

Cinta Karet Gelang


Terjeratku cinta karet gelang
Kala rasa terbiasakan kehadiran
Rindu jejalkan rasa bimbang
Simpati, empati baurkan kekaguman
Rasa ada karena terbiasa
Maya, nyata menyatu rata
Lara, suka ukirkan kisah
Satu tujuan mengusir kesah
Cerita tersuguh begitu manis
Tanpa ada batasan tegas
Kapan dimulai atau berakhir
Tiada status sanggup terikrar
Cinta karet gelang tak berujung
Hanya putarkan episode usang
Diakan memelar atau menciut
Kala ku sadar atau takut
Maniz, April 2008

Jelaga Malam


jelaga malam masih pekat kurasa
kungkung diri dalam kegelapan hati
dan gerhana masih haus memakan cahaya
nestapaku tak beranjak melekat disini
tlah ku coba membuka pintu
tlah kucoba mengoyak terali
namun kukuh benar batas itu berdiri
pasungkanku ditempat tanpa nyali
biarlah air mata ini berderai
karena kebebasanku kan terurai
tanpa celoteh yang membelah telinga
tanpa dusta yang memecah duga
biarlah dan biarlah
malam memeluk laraku
hingga terbitnya Sang Surya....
sinari hatiku dengan janji yang baru...
Maniz, 3 Agustus 2008

04 Agustus 2008

Gundukan Awan


Lihatlah gundukan awan itu sayang
Berarak mengendap di lengkung cakrawala
Tempat kau sematkan catatan asamu
Yang kau kirim dengan lafaldz lafaldz suci
Dari bibir yang kau basuh

Lihatlah gundukan awan itu sayang..
Ia berasal dari air mata laut yang sembab
Yang mengkristal dalam pundi kesabaran
Lalu terajut menjadi putihnya wujud
Siapa yang tau apa yang ia kandung kini
Entah hujan gerimis penghapus dahaga
Atau badai murka membinasa raga

Lihatlah gundukan awan itu sayang
Mereka kan kuat jika merapat
Tangguh bila rasa teguh
Kuasa bila karsa berbicara

Lihat dan lihatlah sayang
Akan ada keajaiban di sela belaiannya
Akan ada cahaya si cercahan balurannya
Akan ada hati yang terus menanti
Setiap pinta kan terkabul hajati….

Maniz, 1 Agustus 2008

Labirin


Jalan tak berujung
Sisakan lorong gelap
Mencari jejak dipasir tersapu angin
Tinggal aku mematung
Mencari jalan terselambu tanya
Dimana aku ?
Labirin……

Maniz, 1 Agustus 2008

31 Juli 2008

Intermezo


Kau bilang bahagia karna ku
Sejak melati merekah diketiak daun
Dan embun simpan cerita cinta kita
Dengan bening dapat ku intip senyummu

Lalu apa arti aku bagimu?
Jika dibelakang kau memuja mentari
Muaikan hadirku di pelepah senyumnya
Dengan teriknya kau semangati hidupmu
Dengan parasnya kau kiblatkan hatimu

Lalu apa arti ku bagimu?
Embun pagi yang kau minta singgah
Kala kau dirajah jengah
Ah intermezzo…

Maniz, 31 Juli 2008

Epilog


Salam tlah terhatur
Pamit tlah tertutur
Tikar tergulung
Pintu kembali ditutup

Selamat tinggal…



Maniz, 31 Juli 2008

Nada Akhir


Nada jiwa mulai ku mainkan
Dawaikan gita tanpa senar bergetar
Hanya kau dan aku bersymponi
Lirih sentuh not not kehidupan berharmoni

Lalu nyanyianmu terdengar sumbang
Saat jiwamu terlanda bimbang
Pada nada akhir yang kau ingin indah
Pada rasamu yang kian tergubah

Kenapa tak kau iringi rayuan nada ini
Hingga lupa lara yang mengikat kakimu
Kenapa tak kau gemulaikan jasadmu
Menari dengan jiwamu yang berkidung
Bercengkrama lepas bebas tak terbendung

Ikuti saja alur nadanya
Resapi gita-gita itu bermutasi
Hingga kan kau temukan
Nada akhirmu memeluk intonasi

Maniz, 30 Juli 2008

29 Juli 2008

Semangkok Sup dan Sebuah Nama


Pagi itu seperti biasanya kita bercengkrama di meja makan berdua sambil menikmati luruhnya embuh disapu Sang Surya… semangkuk sup jagung manis dan asparagus tersaji hangat di meja di hiasi kepulan teh kayu manis mencoba mengusir kantuk yang menggantung dikedua kelopak mataku.

“ Pagi non, masih ngantuk ? “ ucap Tiar menyalamiku dengan seulas senyum khasnya, senyum lebar yang memamerkan kedua giginya yang besar berkilat kilat…

“ Pagi sayang…. “ ucapku semangat..

“ Hem… rupanya Sang pangeran sudah membuatkan Sang puteri sup ya… wah.. pasti enak…” timpalku sambil duduk disalah satu kursi makan yang empuk itu

“ Yah biasanya juga begitu… semangkok sup untuk menyambut dunia“ jawab Tiar dengan senyum terkulum, jujur kalau dia senyum begitu terlihat lebih manis pikirku…

Parade pagi pun bergulir, seperti biasa aku memberondongkan segala keluhku pada Tiar.. dari sakit kepala, rambut rontok, kaki pegel-pegel sampai jerawat. Tiar mendengarkan dengan santai tanpa ekspresi, baginya keluhku seperti nyanyian Indonesia Raya yang didengarnya di setiap upacara bendera kala SD, hafal betul bahkan mungkin Tiar tidurpun masih hafal diluar kepala. Dan tanpa perasaan akupun terus melanjutkan ceritaku yang tanpa titik koma itu…. Kata demi kata mengalir tanpa ada yang menggiring… ah aku memang talk active ( cerewet yang diperhalus).

Suap demi suap sup jagung manis dan asparagus singgah dibibirku…. Sup yang nikmat dan teh yang menenangkan… teracik dari sosok tangan yang sering lembut membelai rambutku.

“ Periksakanlah sakitmu ke dokter…. Siapa tau berbahaya… “ saran Tiar membuka mulut…

“ Iya deh nanti ..” kilahku seperti biasa yang takut pada suntik dokter

“ Lama-lama memang nama Marsambat cocok padamu… hahahaha “ Tiar tertawa lepas dengan senyum khasnya, senyum yang berkilat kilat..

“ Apa ?? Marsambat lagi..?? Enggak.. !!! jawabku sewot..

“ Lah kok sewot, kan cocok sama pribadi kamu yang suka berkeluh kesah (sambat=berkeluh kesah).. hahahaha..”

Aku hanya manyun, sedikit tak terima dengan nama yang sering dia ucapkan itu.. namun kulihat Tiar sangat semangat dengan penemuan nama yang sering membuatnya tertawa… menghilangkan garis mata di bulu-bulu matanya yang lentik.

Dan sejak saat itu, nama itu melekat pada diriku bahkan Tiar tidak pernah memanggil namaku .. katanya nama Marsambat adalah panggilan kesayangan.. Ah dasar Tiar…..desisku…

Semangkok sup dan sebuah nama adalah upacara di pagi buta saat kita mulai menyambut dunia dengan segenggam asa dan cinta….

Maniz, 28 Juli 2008

25 Juli 2008

Wanita Di Ufuk Senja


Batas malam mulai merambatimu
Pelan putihkan rambut dengan perjuangan
Guratkan garis halus pada sudut senyum
Kikis hitamnya bola mata dengan putihnya asa

Gemeretak gigi kala tubuh menggigil
Dibuai angin malam di sepanjang trotoar
Namun jasadmu menyatu dengan jiwa cinta
Setiap derita termuaikan semangatmu membara

Oh wanita di ufuk senja
Tiada letih kau torehkan jejak hidup
Tiada jengah kau bisikkan perjuangan
Tiada kesah kau hapus peluh keringat
Demi celoteh riang tunasmu yang menghijau

Oh wanita di ufuk senja
Bukan berlian tertawan di cawan tanganmu
Namun kasih tanpa pamrih
Melekat berkilat disela sela hatimu
Yang putih bersih ber aura Surga…

Wahai wanita di ufuk senja…
Bila nanti masa Nya
Perjuanganmu menepi digaris malam
Tidurlah di bantal bantal kedamaian
Yang terkirim dari tunasmu yang bersemi
Dari buah ranum yang kau tanam

Tersenyumlah…..

Maniz, 24 Juli 2008

24 Juli 2008

Terali...


Terhimpit aku disudut lorong gelap
Tertekuk asaku oleh jeruji besi ini
Yang menghukumku di tiap ujung ujung hariku
Lumatkan cintaku halus terhembus angin

Tangguh batas ini berdiri
Memisahkanku dengan dunia ceritamu
Jauhkanku dari wewangian dadamu yang bidang
Dekatkanku dengan kegelapan tak berpurnama

Terali….
Kungkungkan aku di nestapa ini
Pasungkan aku dengan janji berduri
Bungkam jeritan dengan kasunyatan
Redupkan harapan di lautan cobaan

Terali..
Bila esok terbuka
Bisakah kulihat dunia
Tak memeluk gerhana….


Maniz, 23 Juli 2008

22 Juli 2008

Kuda Liar...


Berlari bebas kau mengawali hidup
Tanpa beban yang mengekangmu terpuruk
Dengan kandang alam coba kau uraikan
Setiap perjalanan hidup adalah pilihan

Hentakan kakimu tak berbatas
Tujuan arahmu kau kantongi sendiri
Padang ataukah gunung membendung
Tetap jalanmu ringan tak tersandung bimbang

Ringan jalanmu tak menanggung pelana
Yang himpit hati yang kian sempit
Tanpa terhela kau kemudikan hidupmu
Asa membumbung disetiap jejak terukir

Larilah seperti kawanan kuda liar
Dengan begitu kau bisa memperbudak waktu
Terjang setiap jalan yang terbentang
Mutukan hidup yang hanya satu….. kali…


Maniz, 22 Juli 2008

Bantal-Bantal Doa...


Ya Allah, Tuhan yang menghujani kedamaian dalam keresahan dan membasuh kasih sayang dalam hati yang haus, ijinkanlah aku sekedar mencicipi kemurnian cinta yang Engkau hidangkan mana kala aku meringkuk dalam kesendirian, kesepian dan keterpurukan. Jangan biarkan aku menangis dalam kegaduhan dan tertawa dalam kebingungan yang menggunung.

Ketika aku sudahi tidurku pagi hari yang kulihat hanya ruang kosong dan tumpukan kertas kertas bertinta yang makin melengkapi kepenatanku dan ketika aku buka jendela kamarku, aku melihat sepasang burung yang sedang bercumbu diatas dahan rapuh tak berdaun. Mereka saling merayu dan melemparkan kicau-kicauan indah hingga merekapun terbang bekejaran diatas awan.

Aku iri padanya…
Aku ingin seperti mereka…
Ya Rabbi…
Ya Illahi..

Tiuplah pada hatiku nafas-nafas cinta yang mampu menghapuskan kesesakan dan penatnya kekosongan hingga akupun dapat merasakan nyamannya terlelap dalam belaian insan yang mencintaiku…

Ya Allah Tuhan yang menguasai istana cinta dalam hati yang menggigil.. Lelapkan aku dalam bantal-bantal cinta yang bersulam kedamaian dan ketentraman serta hiasilah mimpiku dalam madu-madu legit yang aku petik dari taman sorgaMu…

Wahai raja penyatu hati-hati berserak pertemukanlah raga ini dengan sosok insan yang sudi menerima segala keterbatasan ini serta mampu menghiasi sorga mungil yang kudiami sebelum sorga sebelumnya dan abadikanlah pertautan kami sampai memutih seluruh rambut kami, sampai menumpul kedua pandangan mata kami bahkan sampai kami tak mampu melihat fajarMu .. diwaktu Dhuha…

Amin…

Tak Apa...


Tak apalah jika kau tertawa
namun rejamkan onak dalam dada

Tak apalah jika kau menangis
hanya demi ibaku yang kau iris

Tak apalah jika kau bungkam
demi dustamu yang kau pendam

Tak apalah jika kau bahagia
walau laraku mengamininya

Tak apalah jika kau pergi
karena asamu tak disini

Tak apa..
Sungguh tak apa....

Karena masa akan berbicara…

Maniz, 21 Juli 2008

Memuja Malam


Malam ini begitu sunyi... hanya sang kodok yang terus menyindirku dengan tembangkan kidung kerinduan pada rintik hujan. Cahaya remang kukuhkanku pada kegelapan yang lamat-lamat menjadi teman tanpa perkenalan.... Aku mematung sendiri menatap kerlip bintang didepan teras rumah dengan kepala terkalung beban... Ada kegalauan yang maha dasyat menyayatku... Ada kepedihan merobek ketegaranku... dan kerapuhan menguningkan hijaunya daun asaku... Kutarik nafas dalam-dalam... kuharap beban ini kan keluar dari rongga dadaku yang kian berdesakan.. namun semua seperti terkecat di leherku bahkan membentuk terminal pertahanan disana...

Sudah cukup lama aku seperti ini... menantimu dibatas malam tanpa bintang.. menunggumu tanpa jemu menjamu.... merindumu ditiap denting waktu yang berpacu... entah sampai kapan.... bahkan 7 purnama yang kau janjikan padaku di bulan Juni tahun lalu telah meninggalakan jejak tak berbekas... dan cawan kesetiaan dialtar ketulusan hatikupun tak kau balas..

Dahulu dibatas senja kau berjaji padaku akan kembali ke peraduan kampung ini, dimana selalu kan kau rindukan.. sapuan angin semilir mengelusmu... nyanyian nyiur menentramkanmu dan eksotica sunset pantai cinta kita membuaimu...dalam…….
Namun semua janjimu tak mampu kurengkuh.. bagai busa yang dulu selalu indahkan segelas cerita cinta kita.. kini hilang tak sisakan jejak untukku….

Kugenggam erat-erat surat terakhirmu setahun lalu yang berjanji datang untuk bersanding denganku.. selamanya… kini cerita itu hanyalah angin yang berhembus.. beri ku kesegaran kala diri haus dalam jiwa yang tandus namun manakala realita telah berbicara aku tersedak dibuatnya…

Malam membungkam... namun hatiku gaduh menari dengan galau. Apakah aku harus bertahan atau beranjak pergi..??? jawaban demi jawaban bergema dari satu bilik ke bilik yang lain.. saling menindih..dan mencibir. Aneh memang... terkadang kita susah sekali berkompromi dengan diri sendiri.. merasa asing walau satu hunian.. satu jasad...
Ah sudahah… malampun telah bosan mendengar kesahku… sudah saatnya kuberanjak pergi.. karena Sang mentari masih bersedia menyapaku dipagi hari….
Kenapa aku hanya selalu memuja malam…….???


Maniz, 21 Juli 2008

Kebumikan Aku Di hatimu...


Rajutan cerita lalu
Tersapu angin
Tinggal lembaran terakhir
Tersisa kalimat penutup
Kebumikan aku di hatimu…

18 Juli 2008

Rasa Berkalung Cinta



Pagi ini…
Hujan tanamkan akar-akarnya dibumi
Gemericik air gitakan debar kita
Sepoi angin mengelus rambutku tergerai
Lalu bola matamu mengintip bilik hatiku
Aku tersipu…..

Pagi ini….
Seulas senyum tersuguh indah
Tercurah dari segelas putih susu hatiku
Membanjiri rona muka berkalung cinta
Membasahi katup jiwa yang siap membuka pintu

Pagi ini…..
Aku berlari diatas rambut terbagi tujuh ke seberang hatimu
Mengajakmu menari.. bernyanyi.. merayu.. tertunduk malu
Berjanji diatas altar rasa dengan ribuan lilin berkedip
Bersanding denganmu bertali simpul setia hati

Pagi ini
Saat buliran air bermahkota diwajahmu
Berkilat kilat seperti kristal dipuja cahaya
Dan desiran hati kita terdekap menyatu
Rasa membara bergejolak terbakar cinta

Pagi ini …
Berkalung cinta didada
Terukir kata cinta … seribu bahasa….

Maniz, 16 Juli 2008

Lengkung Bulan Sabit


Lengkung bulan sabit terselambu mendung
Garis cakrawala mengandung gelapnya malam
Bintang membisu enggan kerdipkan sinar
Aurora gelap pekat seperti hatiku yang berjelaga

Tak ada rasi cinta yang tersuguh
Tak ada gugusan nebula kasih yang tersemat
Tak seperti rotasi episode lalu
Dimana purnamamu teroboskan sinar ke bilik hatiku
Dan mampu terangkan jiwaku yang berkabut

Kini bulan sabit mengambil alih
Pada bulatnya hatimu yang terkikis waktu
Dan desiran angin kukuhkan sepi menggelanyut
Atas rasa kehadiranmu yang kianlah surut

Lengkung bulan sabit kian terbenam
Disinggasana awan hitam yang siap deraikan gerimis
Dan aku tetap disini menengadah pasrah
Menunggu hujan usai … lerai tak berderai
Hingga bongkahan awan itu sumbulkan
Cahaya dari kasih bulanku kembali….
Menjadi purnama lagi

Maniz, 14 Juli 2008

Ademing Ati..


Wengi soyo atis
Njejep
Mlebu marang jeroning ati
Agawe pepet
Mampet sadoyo kasenengan
Mamring
Mbatiri ati
Gempil
Cuwel
Napaki impen kapungkur
Kadaluwarso
Sirno soko kuwoso
Kang tansah beksan
Sajroning netro
Sajroning dodo..