09 September 2008

Entah


Entah apa yang terpikir olehku
Gaduh di dada bertalu talu
Denyut bergejolak teradu galau
Hasratku meredup diambang surau

Entah apa yang terpikir olehku
Akal melayang terpacu jemu
Atas rutinitas bekukan nafsu
Pada gerak jiwa yang terpaku bisu

Entah apa yang terlintas
Ku hanya ingin diam menekuri keheningan
Membangun dinding dinding batas
Kala kasunyatan mencium kewajiban

Maniz, 9 September 2008

Penantian


Ku ingin bercerita
Pada lampu taman redup menyusut
Pada gedung-gedung yang tak perawan
Pada setangkai dahan yang mengandung lara
Pada bangku kursi yang membungkam bisu
Selama apakah aku menunggumu..?
Bahkan hitamnya rambut tlah terhisap senja
Kulit semakin purba
Dan kelopak mata bosan membingkai penantian
Atas sosokmu yang timbul tenggelam
Terambing ombak tak berhaluan

Maniz, 8 September 2008

Episode


Satu kecup membius waktu
Hingga jam pun enggan berdentang
Saat kita bergumul asmara
Menggelepar menjajah raga yang terbakar

Rayap haus melumat rongga kayu
Desahan samarkan geraham yang berderit
Bagai tornado kau hempaskan segala
Luluh lantah jatuhkan jamban air ke tanah

Kambojapun menguning layu
Memuja tanah hingga tertekuk pasrah
Dalam sprei kusut bermotif bunga lili
Satu episode kini tlah terakhiri

Maniz, 8 September 2008

Di halaman pertama


Secercah senyummu membuka pita
Menandakan pronolog senja dibuka
Dan kerlipan mata bukakan buku
Siap tawan rasamu menyatu
Namun sayang sungguh sayang..
Cerita berakhir..
Dihalaman pertama
Sebelum sang pena mengukir kata

Maniz, 8 September 2008

Angin


Seperti angin yang berhembus
Datang tak terendus bumi
Dan sebelum setangkup tangan menyalami
Tanpa jejak pergimu membius
Jiwaku yang kuncup mengatup

Maniz, 8 September 2008

Menunggu Waktu


Tinggal menunggu waktu
Sang kala menjembut dengan sebilah pedang
Memisahkan hangatnya tubuh dipelukan
Kuraskan muara tangismu yang kian mengering

Tinggal menunggu waktu
Hembusan nafas ini tertali
Diujung-ujung jalan yang mendaki
Menuju langit tempat bertapanya para dewa
Yang bersila menunggu selipkan surat nirwana

Tinggal menunggu waktu
Kala usaha menepi di lorong takdir hidup
Dan asa mengemuning berjatuhan
Karena catatan telah ditorehkan

Tinggal menunggu waktu
Tetesan doamu menyalami
Kepergian menuju kehidupan abadi
Dengan segengam amal yang tersampul rapi

Maniz, 6 September

Janji Sekantong Sampah Plastik


Awan menjadi saksi nyata
Atas janji sekantong sampah
Dengan berbisik merayu tanah
Tuk kebumikan cela, nista, tipu, daya
Buahkan subur nikmat di rongga-rongga

Tanah tersenyum mengelus kuasa
Sampah tertawa puaskan rasa
Dan sembunyilah segala kebusukan
Dalam perut-perut penuh ketulusan

Apa yang terjadi
Kala tanah uraiakan semua
Mengalirlah perih dan payah mewabah
Dalam jasad yang kian meranggas
Terejam racun sampah yang mengganas

Sampah tertawa geli
Dan tanah hanya bisa berderai
Derai
Hingga awan tancapkan akar gerimis
Di tanah yang gersang menangis


Maniz, 6 September

Siapalah Aku


Siapalah aku..
Saat cermin suguhkan wujud rupa
Saat jiwa mencoba diraba
Apa yang ku baca..??
Sorot mata yang mengejawantah
Terhias dengan sekuntum senyum indah
Lalu semua mulai bermutasi
Menjadi bait-bait pengakuan diri
Entah dosa entah pahala
Putih dan hitam nanar dirasa

Siapalah aku..
Sembunyikan rasa di pelupuk mata
Memeluk harap dikepingan doa
Membekam luka di kerlipan tawa
Bumikan dosa di rona muka

Siapalah aku….
Mungkin aku adalah aku
Dengan putih dan hitamnya rasa
Terbalut dengan sewujud raga
Tergerak dengan segengam karsa

Maniz, 5 September 2008

Kompromi Jiwa


Duduk tertekuk di beranda hati
Sepi sendiri menjamu jiwa
Dan dialog diri menyapa rasa
Intrik berderai mencoba terurai

Dua ujung menali ego
Dua karsa memaksa bicara
Logika dan rasa memutar fakta
Kanan dan kiri manarik pesona

Kenapa ada pertentangan
Dan jalan menelurkan persimpangan
Jika akhir tujuan adalah sama
Kanan atau kiri hanyalah sarana

Kenapa harus tetaskan konflik
Bertopeng dengan wajah munafik
Tak bisakah jiwaku berkompromi
Menerima diri sejatining insani

Hem…. Bisakah wahai jiwaku…????

Maniz, 5 September 2008

03 September 2008

Trauma Ramadhan


Denting membunting cerita syahdu
Pada episode yang tertoreh silam
Saat ku memeluk purnama yang bisu
Tersudut di lorong trauma mendalam

Dua tahun terusung scenario
Pada lokan nestapaku
Kala 2 ramadhan isakku membuncah
Membanjiri cawan laraku tertumpah

Apa ini catatanku…?
Bersua Ramadhan dalam sampul kelabu
Dan kemasi guratan senyum terkulum
Membekamnya dengan tetes air mata
Hingga tersuguh nanarnya rasa
Dalam kepingan pinta yang tertunda

Kini
Dengan seikat doa yang tersisa
Ijinkan aku rengkuh bahagia
Kala sahur membangunkan asa

Maniz, 3 September 2008

Langkah


Tahun demi tahun tatihku meletih
Dan beban karatkan langkah
Terseok di gersangnya jalan hidup
Tercabik onak-onak kehidupan

Lunglai kaki dipuja tanah
Lelah diri bersanding keringat
Namun celoteh kecilmu sayang
Bangunkan istana asa … gubahkan derita

Dengan senyumanmu sayang
Gurun madagarsar subur terairi
Dewa-dewi cinta berkidung merdu
Hingga lelapkan letih dan nestapaku

Dengan tatapan polosmu sayang
Yang sebening air mata suci
Ijinkan kuseduh segelas nikmat..
Walau siksa dunia begitu dekat

Maniz, 2`September 2008

Merugi..?


Kala usia membelah jatah waktu
Sedang pahala tercecer dijalan
Dan dosa tertabung di pundinya
Apakah aku merugi..??
Jika saat pagi kubuka mata
Harta tertata berkilapan
Tahta tersemat wibawakan diri
Cinta dan durja merapat bersama
Apakah aku merugi..?
Bila tiba saatnya
Kukan tertawa memeluk dunia
Dan fana masihlah cerita
Apakah aku merugi..?
Astaghfirullah……


Maniz, 2 September 2008

Adalah...


Adalah mimpi yang ku tabur di persemaian doa
Adalah pinta yang tertutur dari bibir terbasuh
Adalah ingin yang bermunajad dengan itikad
Adalah karsa yang membangun jiwa
Adalah rasa yang direnda dengan usaha
Adalah aku yang menunggu satu kata cinta darimu…

Maniz, 2 September 2008

Cahaya Temaram


Secercah cahaya datang melamat
Mengendap ke bilik-bilik hati
Lalu pergi merambat
Sisakan gelap yang melumat

Cahaya temaram
Berkawan dengan kelam yang melegam..

Maniz, 2 September 2008